Ahli Nilai Tak Logis Jika Perintah Hasto ‘Tenggelamkan’ Dimaknai Larung

pttogel Jakarta – Pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang menggunakan istilah “tenggelamkan” dalam konteks politik, kembali menjadi sorotan publik. Ungkapan tersebut ditujukan kepada Anies Baswedan, rival politik utama PDIP dalam Pilpres 2024. Meski Hasto sendiri kemudian mengklarifikasi bahwa istilah tersebut bersifat metaforis dan kerap digunakan oleh Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, sejumlah pihak tetap menyoroti makna dan dampak dari pernyataan tersebut. Seorang ahli hukum pun angkat bicara dan menyebut bahwa memaknai istilah “tenggelamkan” sebagai perintah untuk “melarung” tidak logis secara bahasa maupun hukum.

Konteks Pernyataan Hasto

Pernyataan “tenggelamkan Anies” pertama kali disampaikan Hasto dalam sebuah forum internal PDIP, sebagai bagian dari retorika perjuangan politik untuk memenangkan PDI Perjuangan dalam Pemilu. Ia mengutip gaya pidato Megawati yang sering menggunakan istilah tersebut saat menginstruksikan kadernya untuk “menyudahi” lawan politik secara tuntas dan total dalam kerangka demokrasi.

Namun, kalimat itu dengan cepat menyebar di media sosial dan mendapat interpretasi luas. Sebagian publik menilai pernyataan itu mengandung unsur kekerasan simbolik, sementara yang lain memaknainya sebagai bagian dari strategi komunikasi politik yang keras dan tegas.

Ahli Hukum: Tafsir Larung Tidak Masuk Akal

Menanggapi perdebatan ini, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Eddy Hiariej, menilai bahwa memaknai kata “tenggelamkan” sebagai tindakan “melarung” (ritual melepas benda atau orang ke laut) adalah tidak logis secara kontekstual dan linguistik.

“Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tenggelamkan’ itu punya makna yang cukup tegas, yaitu membuat sesuatu atau seseorang tidak muncul lagi, hilang dari permukaan. Jika kemudian kata itu ditafsirkan sebagai ‘melarung’, jelas itu sudah menggeser makna asli dan tidak sesuai dengan konteks politik yang digunakan,” jelas Eddy.

Ia menambahkan bahwa dalam penilaian hukum pidana, yang dinilai bukan hanya ucapan secara literal, tetapi juga konteks, niat (mens rea), serta dampak dari ucapan tersebut. Jika konteksnya adalah forum politik dan tidak ada ancaman nyata terhadap keselamatan seseorang, maka sulit untuk mengkategorikan ucapan itu sebagai bentuk pidana.

Politik Retoris dalam Budaya PDI Perjuangan

Pernyataan “tenggelamkan” bukan hal baru dalam tradisi retoris PDI Perjuangan. Megawati Soekarnoputri sendiri, selama menjadi Ketua Umum, dikenal sering menggunakan gaya bahasa hiperbolis dan penuh semangat perjuangan. Hal ini dianggap bagian dari upaya membakar semangat kader di tengah kontestasi politik yang ketat.

Menurut analis politik dari LIPI, Siti Zuhro, gaya retoris semacam itu sebenarnya tidak melanggar etika politik selama tidak diterjemahkan dalam bentuk tindakan nyata yang melanggar hukum.

“Namun, di era digital seperti sekarang, setiap pernyataan publik berpotensi viral dan disalahartikan. Oleh karena itu, elite politik perlu berhati-hati dalam memilih kata,” ujar Siti.

Respons dari Kubu Anies

Menanggapi pernyataan Hasto, pihak Anies Baswedan melalui Jubir Tim Nasional AMIN menyayangkan pilihan diksi yang digunakan. Mereka menilai bahwa penggunaan kata “tenggelamkan” menciptakan atmosfer permusuhan dan dapat memicu konflik horizontal di akar rumput.

Namun, tim Anies memilih untuk tidak melanjutkan polemik ke jalur hukum. Mereka justru mengajak masyarakat untuk menilai kualitas pemimpin berdasarkan program, gagasan, dan visi-misi yang ditawarkan.

Kebebasan Berekspresi vs Etika Publik

Fenomena ini kembali menimbulkan pertanyaan tentang batas antara kebebasan berpendapat dan etika komunikasi politik. Di satu sisi, para politisi memiliki hak untuk menyuarakan pandangan dan strategi mereka dalam forum internal maupun publik. Namun di sisi lain, masyarakat menuntut standar etika tertentu dari para pemimpin, terlebih dalam masa-masa sensitif seperti pemilu.

Ahli komunikasi politik, Dr. Ari Ganjar Herdiansyah, menekankan pentingnya sensitivitas bahasa dalam era disinformasi.

“Sekali sebuah kata dilempar ke publik, ia bisa hidup dengan makna yang tak terkendali. Inilah tantangan komunikasi politik modern: setiap kalimat bisa menjadi senjata,” tegas Ari.

Kesimpulan

Pernyataan Hasto Kristiyanto tentang “tenggelamkan Anies” mencerminkan gaya komunikasi politik yang keras namun sudah menjadi bagian dari budaya internal partai. Meski telah diklarifikasi sebagai bentuk metafora politik, interpretasi publik yang beragam tetap menjadi konsekuensi yang harus dihadapi.

Dalam sistem demokrasi, narasi dan retorika memang menjadi bagian dari kontestasi. Namun para elite politik juga dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan pesan-pesan publik, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang merugikan stabilitas politik dan sosial. Tafsir “tenggelamkan” sebagai “larung” pun, menurut para ahli, hanyalah upaya pelintiran makna yang tidak berdasar, baik secara linguistik maupun hukum.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top